SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Kata-kata
sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti
wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama
adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata
dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran.
Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena
sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an
dan sunah Rasulullah SAW.
Secara
sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini
dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat
peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah
laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat
semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah
peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat,
baik di dunia maupun di akhirat.
Al
Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara
berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril.
Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca
Al Qur’an merupakan ibadah.
Al
Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban
untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi
manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangnannya. Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi
kehidupan umat manusia.
Tuntunan
yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan
iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir,
serta qadha dan qadar.
Tuntunan yang
berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti
yang baik serta etika kehidupan.
Ø Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni
shalat, puasa, zakat dan haji.
Ø Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan
manusia dalam masyarakat
Ø Isi kandungan Al Qur’an
Ø Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi
kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari
30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata.
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an
(ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1.
Hukum yang
berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah
SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
2.
Hukum yang
berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama
dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum
syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
3.
Hukum yang
berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat –
sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari
Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:
1.
Hukum yang
berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah
dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
2.
Hukum yang
berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian,
hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan
dengan muamalah meliputi:
1.
Hukum yang
berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan
warisan
2.
Hukum yang
berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli
(perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar
hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
3.
Hukum yang
berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan,
persaksian dan sumpah
4.
Hukum yang
berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum atas
pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5.
Hukum yang
berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam
dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6.
Hukum yang
berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan
sedekah.
Ketetapan
hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar.
Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah,
kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam
rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya
sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis
besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata
negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan
masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan
nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain
ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan
masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang
berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
Hadits
merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang
kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum
dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam
haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya: “ … Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah
meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW
mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila
seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal
tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat
mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh
Rasulullah SAW:
Artinya: “Aku
tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian
berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam
Malik)
Hadits
merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut :
Memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an
dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT
didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana
ditetapkan dalam firmannya :
Artinya: “…Jauhilah
perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat
diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
Memberikan
rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum.
Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan
menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak
menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci
batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji.
Rincian
semua itu telah dijelaskan oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam
Al Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah
sebagai berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut,
bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh
dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh
dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ
: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan
bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai
adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…”
(HR Ibnu Majjah)
Menetapkan
hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara
menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah
satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ
اِذَا
وَلِغَ
فِيْهِ
الْكَلْبُ
اَنْ
يُغْسِلَ
سَبْعَ
مَرَّاتٍ
اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
Artinya: “Menyucikan
bejanamu yang dijilat anjing adalah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali
salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut
sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
Ø Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat,
dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang
samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits.
Ø Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung
sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan
termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak
terlalu berat atau tidak terlalu penting.
Ø Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu
syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif
banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain,
disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang
tidak dipenuhi.
Adapun syarat-syarat
suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
Ø Rawinya bersifat adil
Ø Sempurna ingatan
Ø Sanadnya tidak terputus
Ø Hadits itu tidak berilat, dan
Ø Hadits itu tidak janggal
C. Ijtihad
Ijtihad
ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak
ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunakan akal
pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan
hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum
yang ketiga.
Hasil
ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin
jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,”
bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang
memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan
Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di
dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul
bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an
dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri”
kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju.
Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk
melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
Ø Mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang
bersangkutan dengan hukum
Ø Memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya
untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
Ø Mengetahui soal-soal ijma
Ø Menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih
yang luas.
Islam
menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah
SAW bersabda:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya:
“Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata
hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim
dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya
salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam
bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi
juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat
dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya:
”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al
muqaddas)
Dalam
berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah
kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa
dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’
diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah
SWT:
Artinya:
“Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri
diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam
ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan
dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian,
ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah
mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi
mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini.
Qiyas
(analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan
kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan
illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir
dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut
dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu
sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al
Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar
yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum
mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun
Qiyas, yaitu:
Ø Dasar (dalil)
Ø Masalah yang akan diqiyaskan
Ø Hukum yang terdapat pada dalil
Ø Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah
yang diqiyaskan
Ø Bentuk Ijtihad yang lain
1.
Istihsan/Istislah,
yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret
dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau
kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan.
2.
Istishab,
yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan
suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut.
3.
Istidlal,
yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret
dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat
atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum
agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum
Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan
ajaran Al Qur’an dan hadits.
4.
Maslahah
mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh
dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya
seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada
pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
5.
Al ‘Urf, ialah
urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya.
6.
Zara’i, ialah
pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk
menghilangkan mudarat.
D. Pembagian Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada
lima yaitu:
1.
Wajib, yaitu
perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan),
maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia
akan berdosa
2.
Sunah, yaitu
anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa
3.
Haram, yaitu
larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau
ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW
dalam sebuah haditsnya yang artinya:
“Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah.
Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang
paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk
orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu
sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa.
Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati”. (HR. Ahmad dan
Tirmidzi).
4.
Makruh, yaitu
larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan
jika ditinggalkan diberi pahala.
5.
Mubah, yaitu
sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau dikerjakan
tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Dalil
fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama
menambahkan yaitu istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab. Hukum-hukum itu
ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam. Hukum yang diambil dari
nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya menunjukkan kepada hukum itu.
Hukum
seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim,
tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat,
puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat
apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim
wajib mengikutinya. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya
terhadap hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas
memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah
satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi
dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
اَلْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقاً
Dua
orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak
selama keduanya belum berpisah. Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini
mungkin berpisah badan atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti
wajib menyapu semua kepala atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami
ayat:
Artinya: “Dan sapulah
kepalamu” (QS Al Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena
semata-mata tidak membaca basmalah.
مَا اَنْهَرَ الدَّ مَ وَ ذُ كِرَ اِسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
Alat
apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.
Hukum
yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi pada
suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya.
Hukum
yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada
kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat dalam
kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang
mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan
lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum
seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau
tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak
membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana mujtahid pertama telah
memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah hukum itu
dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang lain, setelah diselidiki
dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti
ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu
sendiri dan bagi orang-orang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu
belum diubahnya.
0 comments:
Post a Comment